Beranda | Artikel
Catatan Seputar Klasifikasi Tauhid
Jumat, 21 Desember 2012

Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Seringkali dalam buku-buku tauhid kita menemukan istilah-istilah tauhid serta pembagiannya. Dan yang lebih sering lagi kita dengar ungkapan sebagian orang bahwa mereka juga mendakwahkan tauhid dan memprioritaskannya. Akan tetapi pada kenyataannya, mereka justru sibuk dengan masalah-masalah selainnya.

Oleh sebab itu, sudah semestinya bagi umat Islam untuk membedakan antara pengertian dan pembagian tauhid yang benar dengan pengertian dan pembagian tauhid yang tidak benar atau menyimpang.

Tauhid -sebagaimana dijelaskan para ulama- adalah mengesakan Allah dalam perkara-perkara yang menjadi kekhususan-Nya. Kekhususan Allah itu terbagi menjadi tiga bagian: rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Oleh sebab itu tauhid pun terbagi ke dalam tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat.

Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam perbuatan-perbuatan-Nya, seperti mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta. Kita meyakini bahwa Allah satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta. Tauhid semacam ini telah tertanam dalam fitrah manusia dan diakui oleh orang kafir sekali pun. Oleh sebab itu jenis tauhid ini belum bisa memasukkan pemiliknya ke dalam Islam.

Tauhid uluhiyah -disebut juga tauhid ibadah- adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah. Yaitu seorang hamba tidak menujukan ibadah kecuali kepada-Nya. Segala macam ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya, apakah itu sholat, sembelihan, doa, istighotsah, dan lain sebagainya. Tauhid inilah yang menjadi sebab utama perselisihan antara para rasul dengan umatnya. Tauhid inilah yang menjadi kandungan utama kitab-kitab suci yang Allah turunkan dan misi utama dakwah para rasul. Dengan tauhid inilah seorang hamba masuk ke dalam Islam. Tauhid inilah yang dimaksud dalam kalimat tauhid laa ilaha illallah.

Tauhid asma’ wa shifat adalah mengesakan Allah dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Kita meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat sebagaimana yang diterangkan di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Kita wajib menerimanya dan tidak menolaknya, tidak menyelewengkan artinya, dan tidak menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.

Pembagian Tauhid Menjadi Dua

Sebagian ulama yang lain membagi tauhid menjadi dua, yaitu tauhid fil ma’rifah wal itsbat -disebut juga tauhid ilmi khabari– dan tauhid fi thalab wal qashd -disebut juga tauhid iradi thalabi– maka hal ini tidaklah bertentangan dengan pembagian di atas. Karena yang mereka maksud dengan tauhid ilmi khabari adalah gabungan antara tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat. Adapun yang mereka maksud dengan tauhid iradi thalabi adalah tauhid uluhiyah. Sebagaimana hal itu telah diterangkan oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah di dalam Fath al-Majid.

Istilah Tauhid Hakimiyah dan Tauhid Mulkiyah

Adapun apa yang muncul belakangan di kalangan pergerakan Islam dengan istilah tauhid hakimiyah atau tauhid mulkiyah adalah pembagian yang tidak dikenal oleh para ulama. Yang mereka maksud dengan tauhid hakimiyah yaitu kewajiban untuk mentauhidkan Allah dalam hal penetapan hukum. Adapun yang mereka maksud dengan tauhid mulkiyah adalah keyakinan bahwa Allah satu-satunya penguasa yang berhak mengatur dan membuat syari’at bagi umat manusia, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal itu.

Kedua macam tauhid ini telah tercakup dalam jenis-jenis tauhid yang ada. Tauhid hakimiyah pada hakikatnya telah tercakup di dalam tauhid uluhiyah. Karena menetapkan hukum adalah bagian dari ibadah (perbuatan hamba). Sehingga mengesakan Allah dalam hal ini pun termasuk di dalam tauhid uluhiyah. Sebagaimana wajibnya mengesakan Allah dalam hal doa, dalam menyembelih, dan lain sebagainya.

Adapun tauhid mulkiyah, yaitu keyakinan Allah sebagai satu-satunya penguasa merupakan bagian dari tauhid rububiyah (perbuatan Allah). Oleh sebab itu tidak perlu dikeluarkan dari tauhid rububiyah. Sebagaimana kita tidak mengeluarkan tauhid dalam hal penciptaan (khalqiyah) sebagai tauhid tersendiri. Oleh sebab itu menjadikan tauhid hakimiyah atau tauhid mulkiyah sebagai jenis tauhid tersendiri yang terpisah dari tiga jenis tauhid yang ada merupakan tindakan yang tidak dilandasi alasan ilmiah yang akurat.

Terlebih lagi, diketahui dari praktek penerapan istilah ini oleh para penyerunya, bahwa pemunculan istilah baru ini adalah dalam rangka memuluskan tercapainya tujuan mereka dalam mengkafirkan para penguasa negeri muslim dan menghasut rakyat untuk melawan dan memberontak kepada mereka. Inilah syi’arnya kaum Khawarij di masa kini, sebagaimana Khawarij tempo dulu mendengungkan slogan ‘Tidak ada hukum kecuali hukum Allah’ tetapi yang mereka maksudkan adalah pengkafiran terhadap para sahabat Nabi! ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu menanggapi seruan mereka dengan mengatakan, “Kalimat yang benar akan tetapi dimaksudkan dengan niat yang keliru.”

Istilah Tauhid Ittiba’

Sebagian ulama masa kini memunculkan istilah tauhid ittiba’. Maksudnya adalah menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu-satunya manusia yang berhak untuk diikuti dan dipatuhi secara penuh. Sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushobi al-Yamani hafizhahullah di dalam bukunya al-Qaul al-Mufid fi Adillati at-Tauhid.

Maka, pembagian yang beliau sampaikan ini pada dasarnya dilandaskan kepada keterangan Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah di dalam Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah dimana beliau menyebut istilah tauhid mursil -yaitu mentauhidkan pengutus rasul; yakni Allah- dan tauhid mursal -yaitu orang yang diutus; yakni Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Dari situ dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan tauhid ittiba’ berada di luar pembahasan tiga macam tauhid yang biasa dibicarakan para ulama. Karena para ulama memaksudkan dengan pembicaraan tauhid terbatas kepada ruang lingkup iman kepada Allah. Adapun kandungan iman kepada Rasul -yang disebut dengan tauhid ittiba’ ini- biasa mereka sebut dengan istilah tajridul ittiba’/pemurnian ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan pembicaraan tentangnya di kalangan para ulama berada di luar pembahasan tentang iman kepada Allah.

Dengan begitu, pada hakikatnya penambahan istilah tauhid ittiba’ ini tidak dipermasalahkan dari sisi pemisahannya dari jenis-jenis tauhid yang lain. Hanya saja kita katakan, bahwa penggunaan istilah tauhid ittiba’ tidak lazim di kalangan para ulama terdahulu. Istilah yang lebih tepat adalah tajridul ittiba’. Sehingga pembahasan tentang ittiba’ ini dengan sendirinya berada di luar pembahasan substansi permasalahan tauhid yang berbicara tentang keimanan kepada Allah. Adapun pembicaraan seputar ittiba’ itu berada di dalam ruang lingkup pembahasan keimanan kepada Rasulullah. Wallahu a’lam.

Kitab Rujukan

Bagi pembaca yang ingin mengkaji lebih dalam seputar definisi dan pembagian tauhid  silahkan membaca referensi berikut:

  1. al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid karya Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah (lihat cet. Maktabah al-Ilmu 1424 H, Jilid 1 hal. 5-10)
  2. at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid karya Shalih bin Abdul ‘Aziz alusy Syaikh hafizhahullah (lihat cet. Dar at-Tauhid 1423 H, hal. 5-8)
  3. Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah karya Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah (lihat cet. al-Maktab al-Islami 1408 H, hal. 78-98)
  4. Syarh ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah (lihat cet. Dar al-Quds 1426 H, hal. 7-11)
  5. Syarh Kitab Kasyfu asy-Syubuhat karya Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah (lihat cet. ar-Risalah 1422 H, hal. 44-46)
  6. Ibthal at-Tandid bi Ikhtishar Syarh Kitab at-Tauhid karya Hamd bin ‘Atiq rahimahullah (lihat cet. Dar Athlas al-Khadhra’ 1424 H, hal. 6-7)
  7. al-Mujalla fi Syarh al-Qawa’id al-Mutsla karya Kamilah al-Kiwari hafizhahallah (lihat cet. Dar Ibnu Hazm 1422 H, hal. 31-34)
  8. Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid karya Abdurrahman bin Hasan rahimahullah (lihat cet. Dar al-Hadits 1423 H, hal. 14-17)
  9. at-Tanbihat al-Mukhtasharah Syarh al-Wajibat al-Mutahattimat karya Ibrahim bin Shalih al-Khuraishi hafizhahullah (lihat cet. Dar ash-Shumai’i 1414 H, hal. 83-95)
  10. Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa Shifat karya Dr. Muhammad Khalifah at-Tamimi hafizhahullah (lihat cet. Dar Ilaf ad-Dauliyah , hal. 42-50)
  11. Tath-hir al-I’tiqad ‘an Adran al-Ilhad karya Muhammad bin Isma’il ash-Shan’ani rahimahullah (lihat cet. Maktabah Dar al-Kitab al-Islami 1412 H, hal. 35 dst)

Dalam pembahasan tauhid ini, kami banyak memetik faidah dari penjelasan guru kami al-Ustadz Abu ‘Isa hafizhahullah. Bagi para pembaca yang ingin membaca penjelasan-penjelasan beliau seputar masalah-masalah tauhid bisa menelaah buku beliau Mutiara Faidah Kitab Tauhid (Penjelasan Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab), penerbit Pustaka Muslim Yogyakarta.

Selain itu, pembaca juga bisa membaca keterangan yang berharga tentang dasar-dasar ilmu tauhid di dalam buku Jawaban Tiga Pertanyaan Kubur (Penjelasan Tiga Landasan Utama karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) karya al-Akh al-Fadhil Adika Mianoki hafizhahullah, yang juga diterbitkan oleh Pustaka Muslim Yogyakarta.


Artikel asli: http://abumushlih.com/catatan-seputar-klasifikasi-tauhid.html/